IdentitasKU

Foto saya
Tembagapura, Papua, Indonesia
Aku anak dari Kedua orangtua yang berdarah bugis asli tepatnya di Kota Sutera (Sengkang), terlahir pada tanggal 10 Pebruari 1975 di kota yang sama (Sengkang), menempuh pembelajaran formal dari TK Aisyiyah Kec. Wajo Mks, SD. Inp. Bertingkat Butung Mks, SMP Negeri 7 Mks, SMA Negeri 1 Mksr, dan terakhir Politeknik Negeri UjungPandang Mks, dan mulai hidup baru bersama isteri yang kucintai RINA MARIANA yang memberikan anak2 yang maniez and pintar ARRAIHAN IQBAL RAMADHAN dan ARRIZQI RABIUL AWAL RAHMATULLAH......now di timika n tembagapura kebetulan kerja di PT. FREEPORT INDONESIA setelah melanglang buana dalam dunia pertambangan dan konstruksi melalui PT. Petrosea, tbk, IKPT, CV. Paros Tirja serta CV. Bangun Pilar.....

Assalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh......

Allahumma shalli Muhammad wa alaa ali Muhammad

Sabtu, 13 Agustus 2011

Aforisme Imam Ali as.


Aforisme 1
Dalam masa kekacauan sosial, jadilah seperti labun (unta yang sedang menyusui anak) yang tak berpunggung cukup kuat untuk ditunggangi dan tidak pula bersusu untuk diperah.

Aforisme 2
Barangsiapa menjadikan serakah sebagai kebiasaan, dia menurunkan harga dirinya sendiri; barangsiapa membeberkan kesukaran-kesukarannya, dia menyetujui penghinaan; dan barang siapa memperkenankan lidahnya menguasai jiwanya, dia mengaibkan jiwanya

Aforisme 3
Kekikiran adalah sumber malu; sifat pengecut adalah cacat; kemiskinan menggagalkan lelaki cerdas membela dirinya; orang melarat adalah orang asing di kotanya sendiri.

Aforisme 4
Ketidakmampuan adalah petaka; kesabaran adalah keberanian; zuhud adalah kekayaan; pengendalian diri adalah perisai terhadap dosa; dan sahabat terbaik adalah penyerahan kepada Allah.

Aforisme 5
Pengetahuan adalah harta yang patut dimuliakan, perilaku baik adalah busana baru dan pikiran adalah cermin yang jernih.

Aforisme 6
Dada si arif adalah peti besi rahasianya, keceriaan adalah ikatan persahabatan, kesabaran yang efektif adalah kuburan kekurangan.

Aforisme 7
Sedekah adalah obat mujarab; amal perbuatan manusia dalam kehidupan ini akan berada di hadapan matanya di waktu ajalnya.

Aforisme 8
Manusia sungguh menakjubkan; dia bercakap dengan lemak, berkata dengan sekerat daging, mendengar dengan tulang dan bernafas dengan lubang.

Aforisme 9
Ketika dunia mendatangi seseorang (dengan kemurahannya), dia (dunia) mengatributkan kepadanya kebaikan orang lain; dan bila dia berpaling darinya; dia merebut kebaikan orang itu sendiri.

Aforisme 10
Bergaullah dengan orang lain sedemikian rupa sehingga apabila kalian mati, mereka akan menangisi kalian dan selagi kalian hidup mereka merindukan kalian.

Aforisme 11
Bilamana kalian mendapatkan kekuasaan atas lawan kalian, ampunilah dia dengan bersyukur karena telah mampu mengalahkannya.

Aforisme 12
Yang paling celaka dari semua manusia adalah orang yang tak dapat beroleh saudara dalam hidupnya, tetapi yang lebih celaka lagi adalah orang yang mendapat saudara tetapi menghilangkannya.

Aforisme 13
Bilamana kalian hanya mendapatkan nikmat yang kecil, janganlah kalian menolaknya dengan tidak bersyukur.

Aforisme 14
Orang yang ditinggalkan oleh kerabat dekat, akrab pada kerabat jauh.

Aforisme 15
Pembuat bencana bahkan tak dapat ditegur

Aforisme 16
Semua hal tunduk kepada takdir, sehingga kadang-kadang bahkan kematianpun merupakan akibat dari usaha.

Aforisme 17
Imam Ali as. diminta untuk menerangkan sabda Rasulullah SAW bahwa : Buanglah usia tuamu (dengan mengecat rambut) dan janganlah menyerupai orang Yahudi, Imam Ali as. menjawab,
Nabi SAW mengatakan ini di masa agama Islam baru terbatas pada beberapa orang, tetapi karena sekarang penyebarannya telah meluas dan agama itu telah berkedudukan kukuh, maka setiap orang bebas (melakukannya atau tidak).

Aforisme 18
Amirul Mukminin (as) berkata kepada orang-orang yang mengelak berperang di pihaknya,
Mereka meninggalkan kebenaran tetapi tetapi tidak mendukung kebatilan.

Aforisme 19
Orang yang berpacu dengan kendali longgar akan bertabrakan dengan maut

Aforisme 20
Ampunilah kekurangan orang baik karena bila mereka jatuh ke dalam kekeliruan Allah akan mengangkatnya.

Sabtu, 01 Januari 2011

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak oleh KH.DR. Jalaluddin Rakhmat

Waktu itu, dini hari, di sebuah rumah sederhana. Rahman dan isterinya terbangun karena mendengar derak pintu terbuka. Dipasangnya telinganya tajam-tajam. Mereka yakin suara itu berasal dari kamar anaknya, yang berusia tujuh tahun. Langkah-langkah kecil, terdengar seperti berjingkat-jingkat, bergerak menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu. Mereka mendengar suara air mengalir yang disusul dengan suara gerakan membasuh. Langkah-langkah kecil itu kembali ke kamarnya. Walaupun sayup, karena dinihari yang hening, mereka mendengar suara bacaan Al-Quran. Anak itu rupanya sedang melakukan salat malam. Tiba-tiba keduanya merasakan airmata hangat membasahi pipinya.

Kisah ini disampaikan kepada saya oleh Pak Rahman, ketika saya masih menjadi guru mengaji anak-anak di kampung tempat tinggal saya. Karena kejadian itu, kedua orang tua itu mulai melakukan salat dan meninggalkan perjudian populer- lotto. Ini terjadi kira-kira tiga puluh tahun yang lalu. Saya mendengar kejadian lain yang hampir mirip dengan itu dua atautiga tahun tahun yang lalu.

Kali ini, saya menjadi direktur SMU (Plus) Muthahhari. Seorang ibu, orang tua murid yang baru lulus, datang dari Banten. Ia meminta bantuan saya untuk mengirim Rahmat ke Jerman. Ia sudah meyakinkan anaknya bahwa ia tidak akan mampu untuk membiayainya. Tetapi anaknya berulang-kali meyakinkan orangtuanya, bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan. Di tengah-tengah pembicaraan, ibu itu bercerita tentang perubahan perilaku anaknya setelah masuk sekolah kami. Waktu pulang kampung, ia banyak menaruh perhatian pada tetangga-tetangganya yang miskin. Menjelang Lebaran, seperti biasanya, ibu itu memberi anaknya uang untuk membeli pakaian baru. Rahmat menerima uang itu seraya minta izin untuk memberikannya pada tukang becak tetangganya. “Uang ini jauh lebih berharga bagi dia ketimbang saya, Bu,” kata Rahmat. Ibunya bercerita sambil meneteskan airmata.

Kedua kisah nyata di atas menyajikan contoh anak yang cerdas secara spiritual. Keduanya terjadi jauh sebelum konsep kecerdasan spiritual ramai diperbincangkan. Karena saya tidak ingin bertele-tele mendiskusikan apa yang disebut SQ, dan hanya untuk menyamakan pengertian SQ, saya akan mengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons,The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material; (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak; (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan (5) kemampuan untuk berbuat baik

Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Anak Pak Rahman pada kisah pertama memiliki kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan doa-doa personalnya dalam salat malamnya.

Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.” Yang ceria berkata, “Saya sedang membangun katedral!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.

Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual –seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami”? Bukankah Heinrich Heine memberikan inspirasi dengan kalimatnya “Den Menschen macht seiner Wille groß und klein”? Rahmat memiliki karakteristik yang keempat.

Tetapi Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. “The fifth and final component of spiritual intelligence refers to the capacity to engage in virtuous behavior: to show forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendahhati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, “Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.”

Kiat-kiat mengembangkan SQ anak

Dengan pengertian di atas, berikut ini saya sampaikan secara singkat kiat-kiat untuk mengembangkan SQ anak-anak kita: (1) Jadilah kita “gembala spiritual” yang baik, (2) bantulah anak untuk merumuskan “missi” hidupnya, (3) baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita, (4) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual, (5) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah, (6) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, (7) bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional, (8) bawa anak untuk menikmati keindahan alam, (9) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan (10) ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Jadilah gembala spiritual. Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas –yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya. “Spriritual intelligence is the faculty of our non-material dimension- the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.” (Al-Quran 6:122) Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. “Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and not because of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang yang berSQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.

Rumuskan missi hidup. Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan akhir kita. Kepada saya datang seorang anak muda dari Indonesia bagian timur. Ia meminta bantuan saya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi swasta, setelah gagal di UMPTN. Ia tidak punya apa pun kecuali kemauan. Sayang, ia belum bisa merumuskan keinginannya dalam kerangka missi yang luhur. Berikut ini adalah cuplikan percakapan kami:

- Saya ingin belajar, Pak

- Untuk apa kamu belajar?

- Saya ingin mendapat pekerjaan.

- Jika belajar itu hanya untuk dapat pekerjaan, saya beri kamu pekerjaan.

Tinggallah di rumahku. Cuci mobilku, dan saya bayar.

- Saya ingin belajar, Pak

- - Untuk apa kamu belajar?

- - Saya ingin mendapat pengetahuan

- - Jika tujuan kamu hanya untuk memperoleh pengetahuan, tinggallah bersamaku. Saya wajibkan kamu setiap hari untuk membaca buku. Kita lebih banyak memperoleh pengetahuan dari buku ketimbang sekolah.

- - Tetapi saya ingin masuk sekolah.

- - Untuk apa kamu masuk sekolah?

- - Saya bingung, Pak.

Saya sebenarnya ingin mengarahkan dia untuk memahami tujuan luhur dia. Dengan menggunakan teknik “what then, señor” dalam anekdot Danah Zohar, kita dapat membantu anak untuk menemukan missinya. Jika kamu sudah sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa, what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak. Jika sudah punya duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah tidak terhitung jumlahnya. Sampai di sini, kita sudah membantu anak untuk menemukan tujuan hidupnya.

Baca Kitab Suci. Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan guru-guru kita. Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan untukmu!” Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-Quran seakan-akan berbicara kepadaku.”

Ceritakan kisah-kisah agung. Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. “Manusia,” kata Gerbner, “adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-‘Attar, Rumi, Sa’di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua sumber. Saya senang berdiskusi dengan anak-anak saya bukan hanya kisah-kisah Islam saja, juga cerita-cerita dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India, mitologi Yunani, dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak kisah-kisah pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula, saya membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai Crayon Sin Chan. Saya selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya. Saya bagikan pelajaran itu pada anak-anak saya, yang dilahirkan baik oleh isteri saya, maupun oleh isteri-isteri orang lain (misalnya, yang saya ajar di sekolah saya).

Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah. Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (divine grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merkah setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat menyebut asma-Nya.

Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan. Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang Mahakasih dan Mahasayang!

Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas –fakultas untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata “keputusan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut sbg SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata “pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga”, kita dapat berkata “pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta.”

Bawa anak untuk menikmati keindahan alam. Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.

Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita. Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, “Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya.” Di sekolah kami ada program yang kami sebut sebagai “spiritual camping”. Kami bawa anak-anak ke daerah pedesaan, di mana alam relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya dengan beribadat dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin di sekitar itu. Seringkali, ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untuk memberkan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.

Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan danmembagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik – rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab. 


Pendidikan Karakter: wa maa adraka ma huwa? Oleh Miftah F. Rakhmat

Berikut ini makalah yang disampaikan Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat [Kepala Sekolah Cerdas Muthahhari, SCM Bandung] dalam Seminar Pendidikan Seri ke-7 tentang “Pendidikan Karakter” yang dilaksanakan pada tanggal 9 November 2010 di Gedung Bosowa Management Development Institute [BMDI] Makassar; kerjasama Yayasan Amalia Insani dan Quantum Sinergi Makassar. Semoga bermanfaat!

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad

Pendidikan Karakter: wa maa adraka ma huwa?

Oleh Miftah F. Rakhmat

Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru di Soreang, Kabupaten Bandung. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya di Sekolah Dasar. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Beliau bercerita tentang kewajiban shalat. Beliau kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?”. Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?”

Akhirnya, seorang anak dengan malu-malu mengangkat tangannya. “Saya Pak Guru…”. Mendengar jawaban anak itu, Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat Subuh? Bukankah itu wajib bagi kamu? Tahukah kamu akibat dari melalaikan perintah Tuhan!?” Dan seterusnya…anak itu kemudian dihukum gurunya berdiri di depan kelas.

Sore hari, ia pulang dengan wajah tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya seraya berkata: “Bu, mulai saat ini, saya tidak akan berkata jujur lagi.”

Ia belajar sesuatu yang pahit. Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.

*

Ada pertanyaan besar pada sepenggal cerita di atas. Apa yang sebetulnya akan kita ajarkan pada anak-anak kita: menghafal sederet materi atau kesadaran yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya? Yang pertama kita sebut saja ilmu pengetahuan, yang kedua pengembangan kepribadian. Belakangan, kita menyebutnya dengan pendidikan karakter.

Istilah pendidikan karakter sebetulnya juga bukan sesuatu yang baru. Kementerian Pendidikan Nasional menjadikannya program utama Kabinet Periode ini. Pak Menteri mengangkatnya menjadi tema utama program 100 hari. Beliau memandang bahwa permasalahan bangsa ini berakar dari pendidikan karakter yang tak terintegrasi.

Dahulu orang menyebutnya pendidikan moral. Sempat populer juga istilah budi pekerti. Di luar negeri istilah yang lebih dikenal adalah “Character Education” dan “character building”. Yang kedua masuk ke negeri ini dalam bentuk-bentuk pelatihan motivasi (achievement motivation trainings). Banyak aktivitas dibuat. Games dirumuskan. Teamwork, solidaritas, sportivitas, semangat menghadapi tantangan, kerjakeras, disipling menjadi hal-hal yang lumrah dan tujuan dari setiap kegiatan itu.

Akan tetapi, dampak dari pelatihan-pelatihan motivasi itu temporal. Dia mengubah, bisa sangat besar, tetapi juga cepat pudarnya. Sekian banyak pelatihan motivasi, tak terhitung nuansa spiritual dimasukkan ke dalamnya, tapi negeri kita masih menempati angka terburuk dalam kemiskinan dan korupsi. Karena itulah, pemerintah beralih pada Pendidikan Karakter.

Seperti lazimnya program Pemerintah, mereka bingung mengurai benang kusut pendidikan negeri ini. Pendidikan Karakter sempat dimasukkan dalam bagian yang integral dari kurikulum. Guru-guru bekerja keras untuk itu. Di sisi lain, terlalu banyak pesanan dari kiri dan kanan, sehingga semua hal dimasukkan dalam unsur karakter yang penting itu. Semua merasa semua nilai utama. Tak kurang dari 21 nilai dirumuskan sebagai nilai-nilai yang utama itu. Bagaimana mengaplikasikannya? Ia jadi pekerjaan rumah tersendiri.

Unesco dan LVEP

Tahun 1995, sebuah organisasi kemasyarakatan Internasional Brahma Kumarismemulai proyek internasional LVEP sehubungan dengan ulangtahun PBB ke-50. LVEP adalah singkatan dari Living Values: an Educational Project. Mereka menyederhanakan pendidikan karakter ini ke dalam nilai-nilai moral kehidupan. Sebut saja ia nilai-nilai dasar. Awalnya, proyek ini diberi nama “Sharing our values for a better world.” Proyek ini terfokus pada duabelas nilai-nilai universal. Temanya—yang diambil dari pasal dalam Pembukaan Perjanjian PBB—berbunyi: “To reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person…” Untuk menguatkan kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, harga diri, dan kelayakan seorang manusia. Bagi Brahma Kumaris waktu itu, pendidikan karakter cukup menekankan pada tiga hal: hak asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia.

Proyek ini kemudian bermetamorfosis menjadi LVEP: Living values: an educational project. UNESCO mengangkatnya menjadi program internasional. Hingga tahun 2000-an, tercatat LVEP telah diaplikasikan di lebih dari 2000 lokasi yang tersebar di 80 negara. Saya belum tahun Sekolah di Indonesia yang menerapkannya, tapi Sekolah Dasar kami di Bandung, Sekolah Cerdas Muthahhari mencoba untuk mengamalkannya.

Inilah urutan nilai yang direkomendasikan oleh LVEP:

1. Kedamaian

2. Penghargaan

3. Cinta

4. Tanggung jawab

5. Kebahagiaan

6. Kerja sama

7. Kejujuran

8. Kerendahan Hati

9. Toleransi

10. Kesederhanaan

11. Persatuan

Bagi anak-anak dengan usia yang lebih tinggi, para pendidik di LVEP menambahkan nilai keduabelas: Kebebasan. Yang menarik, LVEP menempatkan Kedamaian sebagai urutan yang pertama. Ada banyak diskusi tentang apakah urutan-urutan ini harus diajarkan bertahap atau dia bisa mulai dari mana saja. Para pendidik di LVEP sepakat, untuk urutan empat hingga 11 bisa diajarkan kapan saja. Tetapi sebaiknya kita mulai dari tiga nilai yang pertama, lebih utama lagi, kita selalu mulai dari kedamaian. Mengapa? Karena langkah pertama untuk melanjut pada nilai-nilai berikutnya adalah damai: berdamai dengan dirinya, berdamai dengan keluarganya, berdamai dengan lingkungan di sekitarnya.

Bagaimana LVEP diterapkan oleh orangtua atau lingkungan sekolah? Untuk anak-anak usia dini: tiga – tujuh tahun, ada banyak cara untuk mengeksplorasi nilai-nilai itu. Kegiatan mempelajari konsep baru, berbagi dan berpikir, menciptakan, dan mengajarkan keterampilan sosial ini dikombinasikan dengan permainan, seni, bernyanyi, gerakan, dan imajinasi. Pada banyak bagian, bahkan ada tahapan-tahapan khusus yang bisa kita aplikasikan segera. Misalnya, inilah contoh cara umum menerapkan satu nilai dalam tahapan-tahapan yang berbeda.

- Bernyanyi, umumnya anak-anak senang bernyanyi. Bernyanyi membuat mereka mengekspresikan diri mereka lebih kuat. Jika kita orangtua atau guru, janganlah malu untuk bernyanyi. Anak-anak kita bukanlah juri audisi kompetisi vokal dengan sederet syarat pitch control dan harmoni. Mereka belum mengenal fals dan falsetto. Bernyanyilah…untuk anak-anak kita. Lagu bisa yang secara khusus berkaitan dengan tema yang kita ajarkan, atau lagu yang kita gubah untuk menyesuaikan dengan tema.

- Latihan menjadi hening. Anak-anak sebetulnya secara alamiah kurang suka dengan keheningan. Apalagi bila diminta untuk menutup mata. Guru atau orangtua bisa menjadikannya sebagai sebuah permainan. Pola seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi. Salah satu cara praktis mengajarkan anak-anak pendidikan karakter adalah pola pertanyaan: “Mengapa?” Dan bukan “Apa?” Hening juga membantu guru dan orangtua untuk mendinginkan suasana, dan memulai perbincangan dari start yang baru.

- Pelajaran, penyampain materi. Baik dengan kegiatan bermain ataupuh diskusi. Di sini kreativitas guru dan orangtua dituntut. Percayalah, orangtua adalah makhluk yang secara spontan punya gudang kreativitas tak terbatas, terutama untuk anak-anaknya.

- Waktu berkelompok. Saat-saat seperti ini adalah waktu yang baik melaksanakan pembuatan peraturan dengan kolaboratif atau untuk penyelesaian masalah.

Apa yang harus disiapkan orangtua?

Pertama, ketika berdiskusi dengan anak-anak, tidak ada jawaban “benar” dan “salah”. Terbiasalah menerima dan mengakui jawaban anak-anak itu, seberapa mustahilnya. Intinya bukan pada jawaban tetapi pada menghargai danmendengar pendapat anak-anak. Dari pengalaman, anak-anak terbiasa memberikan jawaban yang “menyimpang” dari standar. Misalnya: bahwa perang adalah bagian dari dunia yang damai, atau “Aku bahagia bila dianggap anak nakal” dan sebagainya. Dalam memberikan respons, mengangguk sudah cukup. Tetapi respons verbal yang menyatakan bahwa orangtua menerima jawaban mereka dan menyatakan kembali isi jawaban adalah metode yang lebih efektif dalam menyatakan penghargaan orangtua.

Di sini, saya ingin bercerita tentang “123 Magic”. Menurut Dr. John Gray, penulis bestseller Children are from Heaven, pola respon anak-anak sekarang sudah jauh berbeda dengan anak-anak dahulu. Saya kutip pendapatnya dalam satu wawancara dengan WebMD Live (webmd.com), sebuah situs yang mengkhususkan diri untuk tema-tema keluarga: Much of our frustration as parents comes from not knowing what to do to manage our children. We're at a crisis point in history. All of the old parenting skills we learned by watching our parents parent are not as effective as they used to be. Children today are different, and do not respond to guilt trips, yelling, and the threat of punishment. These are the kinds of control techniques our parents used as a last resort. In previous generations, they worked, but today they don't. The book, Children Are From Heaven, provides a training for parents with new communication skills to make the job of parenting much easier and, at least, much less frustrating. Frustration always arises when what we're doing is not working.

Anak-anak sekarang jauh lebih kebal terhadap “rasa bersalah, teriakan, dan ancaman hukuman.” Dan ini bagian yang kedua yang harus disiapkan orangtua: menyampaikan pesan positif. Tentu orangtua adalah role model anak yang paling awal. Bagi orangtua tidak berlaku prinsip larangan riya. Menurut saya, orangtua harus riya. Bagaimana mungkin kita akan mengajarkan bersedekah kalau kita sendiri tidak mencontohkannya (apalagi bila tangan kiri harus tak tahu yang diamalkan tangan kanan)? Dr. Gray menyampaikan Lima Pesan Positif yang dapat dilakukan orangtua.

- “It’s okay to be different.” Berbeda itu tidak apa-apa.

- “It’s okay to make mistakes.” Sesekali berbuat salah itu biasa.

- “It’s okay to have or express negative emotions.” Mau marah, silakan saja.

- “It’s okay to want more.” Mau minta lebih? Boleh. Dan…

- “It’s okay to say No.” Berkata “Tidak” itu boleh saja.

(Kutipan lengkap Wawancara Dr. Gray saya masukkan dalam bagian lampiran makalah ini. Inspiratif!)

Lebih jauh Dr. Gray bercerita tentang 123 Magic. Ini adalah pola yang biasanya diterapkan orangtua untuk anak-anaknya. Ketika perintahnya tidak dipatuhi, orangtua akan berkata: “Bapak hitung ya…satu…(di sini biasanya nada suara masih rendah)…dua…(nada suara meninggi) dan….tiga!” Anak biasanya berlari sebelum hitungan tiga.

Sekarang, hal seperti itu kurang efektif lagi. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi otoritatif, bukan komunikasi suportif. Menurut Dr. Gray, untuk anak-anak usia sembilan tahun, setelah angka tiga kesan yang muncul adalah hukuman yang akan diberikan orangtua bila anak tak memenuhi keinginannya. 123 Magic tetap efektif, bila menyusul angka 3 itu, orangtua menerapkan “Time out” instead of punishment.

Ketiga, yang dapat dilakukan orangtua adalah membantu anak untuk memberikan makna terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Kadang-kadang kita sudah menetapkan sederet standar nilai untuk anak-anak kita, tetapi ketika berbenturan dengan dunia luar (ambillah contoh ketika bertamu), mungkin anak akan dihadapkan pada orang dewasa yang punya standar nilai yang berbeda. Di sinilah prinsip pesan positif yang pertama dari Dr. Gray menemukan relevansinya. It is okay to be different, tetapi kemudian kita memberikan makna terhadap perbedaan-perbedaan itu.

Pendidikan Karakter: Studi di Yayasan Muthahhari Bandung

Di sekolah-sekolah kami, pendidikan karakter erat kaitannya dengan kecakapan hidup. Ustad Jalal (Dr. Jalaluddin Rakhmat) merumuskan tujuh kecakapan hidup yang mendasari nilai-nilai moral universal itu. Ada tujuh life skills di lembaga-lembaga kami berikut penekanan porsi pemberiannya, sejak SD hingga SMP. Learning Skills dan Social Skills (SD), Communication Skill dan Coping Skill (SMP), Happiness Skill, Spiritual Skill dan Financial Skill (SMA).

Adapun prinsip-prinsip karakter yang dikembangkan menitikberatkan padaempati: kepedulian. Dalam beberapa telaah mutakhir, tumbuhnya empati juga bersinergi dengan peningkatan kemampuan secara akademis. Di SMP dan SMA, penerapannya lebih mudah. Di Sekolah Dasar, kami harus mencari cara lebih luwes lagi. Terutama untuk bentuk pengajaran empati yang bersifat klasikal.

Karena makalah ini lebih merujuk pada pendidikan karakter di usia dini, berikut beberapa program kami di Sekolah Cerdas Muthahhari. Tentu sebagai sekolah yang masih muda, semua itu dalam tahap trial and error yang masih perlu diuji.

- Studi dan kunjungan pasca hari H. Setiap kali terjadi musibah, hati kita tergetar. Segera kita terdorong untuk membantu. Dampak dari musibah berlangsung lama. Setelah puncak berita memudar, biasanya bantuan pun berkurang. Ambillah contoh Panti Asuhan. Umumnya ramai dikunjungi pada bulan suci Ramadhan, tetapi pada waktu-waktu di luar itu, ketika mereka justru sangat membutuhkan, sedikit yang berkunjung. Kami mengajak anak-anak ke Panti Asuhan pada waktu-waktu sepi kunjungan itu.

- Melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan (Project-Based Curriculum). Biasanya dilakukan pada waktu libur sekolah dengan materi yang diintegrasikan dengan kurikulum sesuai tingkatan.

- Bermain peran dan beralih posisi.

- Menghadirkan sosok dan kisah-kisah inspiratif.

- Mengolah permainan-permaian yang disesuaikan dengan keperluan pengenalan nilai-nilai.

Demikian beberapa pengalaman yang bisa dibagi. Saya ingin menutup dengan mengutip Milan Kundera, peraih Nobel Sastra: “We are guilty of many errors, but our worst crime is neglecting our children, our fountain of life. It is the time their bones are being formed. To them we cannot say “tomorrow”. Their names are “TODAY”.

Lampiran Makalah:

- Dr. John Gray’s Interview

- 16 pesan Imam Khumaini untuk membentuk pribadi Muslim

- 6 pillars of Character (Universally acclaimed)




Minggu, 05 Juli 2009

GAYA BELAJAR EFEKTIF

http://www.e-smartschool.com/uot/001/belajar.gifSetiap orang pasti mempunyai cara atau gaya belajar yang berbeda-beda. Banyak gaya yang bisa dipilih untuk belajar secara efektif. Nah, artikel berikut menjelaskan tujuh gaya belajar yang mungkin beberapa diantaranya bisa di terapkan pada anak didik kita :

1. Belajar dengan kata-kata.

Gaya ini bisa kita mulai dengan mengajak seorang teman yang senang bermain dengan bahasa, seperti bercerita dan membaca serta menulis. Gaya belajar ini sangat menyenangkan karena bisa membantu kita mengingat nama, tempat, tanggal, dan hal-hal lainya dengan cara mendengar kemudian menyebutkannya.

2. Belajar dengan pertanyaan.

Bagi sebagian orang, belajar makin efektif dan bermanfaat bila itu dilakukan dengan cara bermian dengan pertanyaan. Misalnya, kita memancing keinginan tahuan dengan berbagai pertanyaan. Setiap kali muncul jawaban, kejar dengan pertanyaan, hingga didapatkan hasil akhir atau kesimpulan.

3. Belajar dengan gambar.

Ada sebagian orang yang lebih suka belajar dengan membuat gambar, merancang, melihat gambar, slide, video atau film. Orang yang memiliki kegemaran ini, biasa memiliki kepekaan tertentu dalam menangkap gambar atau warna, peka dalam membuat perubahan, merangkai dan membaca kartu.

4. Belajar dengan musik.

Detak irama, nyanyian, dan mungkin memainkan salah satu instrumen musik, atau selalu mendengarkan musik. Ada banyak orang yang suka mengingat beragam informasi dengan cara mengingat notasi atau melodi musik. Ini yang disebut sebagai ritme hidup. Mereka berusaha mendapatkan informasi terbaru mengenai beragam hal dengan cara mengingat musik atau notasinya yang kemudian bisa membuatnya mencari informasi yang berkaitan dengan itu. Misalnya mendegarkan musik jazz, lalu tergeliik bagaimana lagu itu dibuat, siapa yang membuat, dimana, dan pada saat seperti apa lagu itu muncul. Informasi yang mengiringi lagu itu, bisa saja tak sebatas cerita tentang musik, tapi juga manusia, teknologi, dan situasi sosial politik pada kurun waktu tertentu.

5. Belajar dengan bergerak.

Gerak manusia, menyentuh sambil berbicara dan menggunakan tubuh untuk mengekspresikan gagasan adalah salah satu cara belajar yang menyenangkan. Mereka yang biasanya mudah memahami atau menyerap informasi dengan cara ini adalah kalangan penari, olahragawan. Jadi jika Anda termasuk kelompok yang aktif, tak salah mencoba belajar sambil tetap melakukan beragam aktivitas menyenangkan seperti menari atau berolahraga.

6. Belajar dengan bersosialisasi.

Bergabung dan membaur dengan orang lain adalah cara terbaik mendapat informasi dan belajar secara cepat. Dengan berkumpul, kita bisa menyerap berbagai informasi terbaru secara cepat dan mudah memahaminya. Dan biasanya, informasi yang didapat dengan cara ini, akan lebih lama terekam dalam ingatan.

7. Belajar dengan Kesendirian.

Ada sebagian orang yang gemar melakukan segala sesuatunya, termasuk belajar dengan menyepi. Untuk mereka yang seperti ini, biasanya suka tempat yang tenang dan ruang yang terjaga privasinya. Jika Anda termasuk yang seperti ini, maka memiliki kamar pribadi akan sangat membantu Anda bisa belajar secara mandiri.

Sumber : Depdiknas.go.id

Minggu, 19 April 2009

MY VACATION I 2009 AT TIMIKA


Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh........
Alhamdulillah masuk pada tanggal 4 April aku ngambil cuti yang biasa dibahasakan di dunia kerjaku dengan istilah Vacation (padahal hanya bahasa English ya)....aku mengambil yah cukup lokal aja deh....ngumpul ama isteri and anak2 di Timika karena kebetulan anak2 serta isteri lagi sibuk sekolah dan ngajar dimana sekolah seperti yang kita ketahui bersama sangat2 sibuknya apalagi dibarengi dengan jadwal PEMILU yang mau tidak mau cukup menyita waktu untuk membuat sekolah menyiapkan bahan2 sekolah dengan waktu yang sedikit karena banyaknya hari libur.....
Aku mulai cuti dengan memplanningkan untuk mengecat atap rumah yang mulai berkarat (maklum masih beratap seng), serta menjelajahi beberapa tempat keramaian setiap sore ama isteri dan anak2 untuk mencari hiburan mata (rekreasi kata orang sih) terkecuali pada hari Minggu kami biasanya langsung memulai pada pagi hari...
Tempat yang paling sering kami datangi adalah Bandara Mozez Kilangin dan sekitarnya yang sangat rame dan menjadi tempat mejeng anak muda Timika, dimana ada yang terkenal dengan istilah BATU TIGA yang merupakan halaman dari Hotel Rimba Papua (dulu sheraton hotel), yang biasa anak2 muda berkumpul, berdiskusi bahkan terkadang bermain bola oleh para lelaki di timika, cuman sering dikotori juga oleh beberapa oknum untuk PESTA MIRAS.

Tempat yang juga menjadi langganan di malam hari kami adalah sebuah mini mall yang menjadi kebanggaan masyarakat Timika yang bernama Mulia Mini Mall (3M) yang terdapat beberapa usaha di dalamnya mulai KFC, Gelael Supermarket dan beberapa usaha kecil lainnya yang menjadi tempat berkumpul di siang ampe malam hari untuk mencari yang namanya hiburan dan tak ketinggalan sebuah Supermarket yang berada di seputaran Jl. Budi Utomo yang bernama DIANA SUPERMARKET yang bisa dikatakan bisa mewakili sebagai suatu Supermarket yang menyediakan berbagai macam kebutuhan mulai dari rekreasi berupa Fun Station, cafe n resto bakerynya, departemen storenya serta berbagai kebutuhan yang bisa dikatakan sangat2 lengkap untuk hitungan Timika dan sekitarnya,
Tak ketinggalan sebuah Kolam Renang yang disediakan oleh perusahaan PT. Freeport Indonesia yang dahulunya disediakan untuk fasilitas karyawan dan keluarga yang sudah beralih fungsi setiap hari Sabtu dan Minggu untuk umum yang bisa menjadi tempat membuang jenuh dan penat sehabis berjibaku dengan aktifitas selama seminggu di tempat kerja.
Sebenarnya sih Timika banyak potensi yang bisa diangkat untuk menjadi tempat hiburan untuk masyarakat Timika dan sekitarnya, tapi karena namanya juga daerah yang masih membangun jadi tempat2 hiburan itu masih terbatas dan sebagian besar bisa dikatakan masih didominasi oleh hiburan2 yang bersifat KEPUASAAN SYAHWAT baik itu berupa BAR, PANTI PIJAT DAN LOKALISASI yang bernama K-10, mungkin ini sebagai konsekwensi sebagai tanah project kalee ya...tapi itulah hidup....tapi walaupun begitu Timika juga banyak bermunculan tempat ibadah yang cukup megah baik itu Mesjid, Gereja dan Pura yang merupakan tempat pertobatan dan berkomunikasi antara hamba dan Tuhannya sesuai agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Timika
Itulah sekelumit kegiatan aku dan kayaknya sih dominan bercerita tentang tempat2 yang ada di timika ya.......sorry masih acak2an dalam hal menulis tapi inilah pembelajaran.....

Jumat, 20 Maret 2009

99 WASIAT IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ

  1. PENGHAMBAAN ('UBUDIYAH)
  2. HAKIKAT PENGHAMBAAN
  3. MENUNDUKKAN PANDANGAN
  4. ADAB BERJALAN
  5. JALAN MENUJU ALLAH
  6. MEMBERIKAN PENILAIAN
  7. MENYERUKAN KEBAIKAN DAN MENCEGAH KEJAHATAN
  8. KEJATUHAN MANUSIA BERILMU
  9. MENJAGA DIRI (RI'AYAH)
  10. MAKNA SYUKUR
  11. MENINGGALKAN RUMAH
  12. ADAB MEMBACA AL-QUR'AN
  13. PAKAIAN BATIN
  14. MENJAUHI PAMER
  15. HAKIKAT KEBENARAN
  16. KETULUSAN (IKHLASH)
  17. HAKIKAT KETAKWAAN
  18. TAKUT KEPADA ALLAH
  19. PERSAHABATAN
  20. ADAB TIDUR
  21. INTISARI HAJI
  22. ZAKAT LAHIR-BATIN
  23. KEUTAMAAN NIAT
  24. ZIKIR SEJATI
  25. KEHANCURAN PEMBACA AL-QUR'AN
  26. KEBENARAN DAN KEBATILAN
  27. MAKRIFAT PARA NABI
  28. PENGAKUAN ATAS PARA NABI
  29. PENGAKUAN ATAS PARA SAHABAT
  30. KEHORMATAN ORANG BERIMAN
  31. KEPATUHAN KEPADA ORANGTUA
  32. SIKAP TIDAK SOMBONG
  33. AKAR KEBODOHAN
  34. ADAB MAKAN
  35. MENGHADAPI SETAN
  36. KEBANGGAN YANG TERCELA
  37. KEMURAHAN HATI
  38. PERHITUNGAN DIRI
  39. MAKNA TAKBIRATUL IHRAM
  40. MAKNA RUKUK
  41. MAKNA SUJUD
  42. MAKNA TASYAHHUD
  43. MAKNA SALAM
  44. MAKNA TOBAT
  45. MANFAAT 'UZLAH
  46. MANFAAT DIAM
  47. AKAL DAN NAFSU
  48. IRI
  49. MENGHINDARI KESERAKAHAN
  50. AKAR KERUSAKAN
  51. KESELAMATAN
  52. KEUTAMAAN IBADAH
  53. TAFAKUR : CAHAYA HATI
  54. ISTIRAHAT BATIN
  55. MENGHINDARI KETAMAKAN
  56. DERAJAT KEDEKATAN
  57. SUASANA HATI
  58. MAKNA BERSIWAK
  59. MAKNA BUANG HADAS
  60. MAKNA WUDHU
  61. ADAB MEMASUKI MESJID
  62. ADAB BERDOA
  63. MANFAAT PUASA
  64. PANTANGAN
  65. HAKIKAT DUNIA
  66. KEENGGANAN BERTINDAK
  67. KHAYALAN YANG MERUSAK
  68. CIRI ORANG MUNAFIK
  69. PERSAHABATAN DEMI ALLAH
  70. MEMBERI DAN MENERIMA
  71. PERSAUDARAAN KARENA ALLAH
  72. CARA BERMUSYAWARAH
  73. KESABARAN SEJATI
  74. MENGIKUTI TELADAN
  75. KEUTAMAAN MEMAAFKAN
  76. MENDENGARKAN PERINGATAN (AL-MAU'IZHAH)
  77. MENYIMAK NASEHAT
  78. MAKNA TAWAKKAL
  79. RESPEK TERHADAP SAUDARA SEIMAN
  80. PERJUANGAN DAN KEDISIPLINAN
  81. MERENUNGKAN KEMATIAN
  82. PENDAPAT YANG BAIK
  83. MEMERCAYAKAN DIRI KEPADA ALLAH
  84. DERAJAT KEYAKINAN
  85. TAKUT DAN HARAPAN
  86. KEPUASAN HATI
  87. MEMAKNAI KESENGSARAAN
  88. KESABARAN SEJATI
  89. MEMAKNAI KESEDIHAN
  90. KERENDAHAN HATI (TAWADHU')
  91. MAKRIFAT
  92. CINTA KEPADA ALLAH (AL-HUBB LILLAH)
  93. CINTA DEMI ALLAH (AL-HUBB FILLAH)
  94. KERINDUAN KEPADA ALLAH
  95. RAHASIA HIKMAH
  96. MENUNTUT HAK
  97. BERSIKAP HATI-HATI
  98. MERASA PUAS ATAS PEMBERIAN ALLAH
  99. AKAR FITNAH

Jumat, 13 Maret 2009

MENGAPA HARUS MENGIKUTI AHLUL BAYT

Tidak jarang umat Islam belum mengenal Ahlul bait Nabi saw, yang
kadang-kadang disebut sebagai keluarga suci Nabi saw. Mengapa mereka
tidak mengenalnya? Lalu bagaimana mungkin umat Rasulullah saw dapat
mencintai Ahlul baitnya jika mereka tidak mengenalnya? Padahal Allah
swt dengan tegas memerintahkan umat Islam agar mencintai keluarga suci
Nabi saw. Apa tujuan Allah swt menyuruh kita mencintai keluarga suci
Nabi saw? Dan untuk apa Allah swt mensucikan mereka? Masih banyak
pertanyaan-pertanyaan sekitar ini yang mengusik pikiran kita.

Yang jelas menurut keyakinan kita bahwa tidak ada satu pun perintah
dan larangan Allah swt yang tidak mengandung maksud dan tujuan, alias
sia-sia.

Tentang pensucian Ahlul bait Nabi saw, Allah swt menyatakan dalam
firman-Nya:
"Sungguh tiada lain Allah berkehendak menjaga kamu dari dosa-dosa hai
Ahlul bait dan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya." (Al-Ahzab/33: 33)

Tentang penegasan Allah swt bahwa kita harus mencintai keluarga suci
Nabi saw disebutkan dalam firman-Nya:
"Katakan hai Muhammad: `Aku tidak meminta upah kepada kalian dalam
dakwah ini kecuali kecintaan kepada keluargaku'." (Surat Asy-Syura: 23)

Dua ayat ini memiliki kaitan yang sangat erat dan tak dapat
dipisahkan. Pensucian bertujuan agar dicintai. Mencintai kesucian
jelas akan berdampak pada kebaikan, kebajikan, kemaslahatan, kedamaian
dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Inilah tujuan penciptaan manusia.

Fitrah manusia, pikiran yang bersih dan hati yang tak bernoda pasti
mencintai dan mendambakan kesucian. Kesucian identik dengan
kebahagiaan dan kedamaian. Sekiranya manusia tahu di sana ada sumber
kebahagiaan tentu mereka akan mengejarnya dan mengikutinya.

Maaf, saya mau pinjam bahasa kaum sufi. Karena umumnya manusia
menganggap uang itu sumber kebahagiaan, maka mereka mengejarnya dimana
pun ia berada, tanpa memperdulikan fisik yang sudah lelah. Padahal
uang itu melelahkan, dan tidak jarang uang itu membuahkan malapetaka
di keluarga bahkan di dunia. Lagi-lagi menurut kaum sufi, sebenarnya
umumnya manusia salah mempersepsikan kebahagiaan. Fitrahnya mencari
kebahagiaan, fisiknya mengejar keuangan. Di sini terjadi kejaran yang
tak seimbang dan tak searah, sehingga di sinilah penyebab munculnya
kegelisahan dan malapetaka.

Sebenarnya Allah dan Rasul-Nya sangat ingin kita hidup bahagia di
dunia dan akhirat. Karena itu Dia perintahkan mencintai kesucian. Dan
cinta tak akan bermakna jika tidak mengikuti tapak-tilasnya.
Rasulullah saw adalah tokoh sosok kesucian, dan Ahlul baitnya adalah
sosok kesucian yang harus diikuti tapak-tilasnya pasca beliau.

Lebih detail tentang Ababun Nuzul dua ayat tersebut berikut penafsiran
ulama, silahkan klik halaman Asbabun Nuzul disini:
http://tafsirtematis.wordpress.com

Sebagian umat Islam juga sering terkejut bahkan mengkerutkan wajahnya
ketika mendengar kata "Syiah". Jadi apa atau siapa sebenarnya syiah
itu? Syiah artinya pengikut. Sebagian kelompok umat Islam menisbatkan
dirinya sebagai pengikut (syiah) Ahlul bait Nabi saw. Dalam Al-Qur'an
kata "syiah" dalam segala bentuknya, yang bermakna pengikut kebenaran
atau kebatilan, disebutkan 11 kali, dalam surat: Al-Qashash,
Ash-Shaffat, Al-Hijr, Maryam, An-Nur, Al-An'am, Saba', Al-Qamar, dan
Ar-Rum. Antara lainnya:

"Sesungguhnya termasuk pengikutnya (Nuh) adalah
Ibrahim."(Ash-Shaffat: 83)

"Lalu didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang
berkelahi yang satu pengikutnya (Musa) dan yang satu lagi musuhnya
(kaum Fir'un)." (Al-Qashash: 15).

Sesungguhnya telah Kami binasakan para pengikut kalian. Maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran?" (Al-Qamar: 51)

Dari paparan ayat-ayat tersebut dapatlah kita menjawab pertanyaan:
Mengapa kita harus mengikuti Ahlul bait Nabi saw? Yang digarisbawahi
sebelum membuat kesimpulan: Nabi saw tidak dapat dipisahkan dari Ahlul
baitnya. Karena hal ini banyak disebutkan dalam hadis-hadisnya. Ingin
tahu hadis-hadisnya, silahkan juga klik disini di halaman hadis-hadis
pilihan:
http://tafsirtematis.wordpress.com

Wassalam
Syamsuri Rifai